Berawal dari perhatiannya yang  tidak  pernah luput dari aktivitas kegiatan penebangan kayu hutan di   wilayah tempat tinggalnya di Pesisir Selatan, Safruddin Tasyar mulai banyak  mengenal para pelaku usaha  kayu. Di usianya yang masih muda, tidak begitu susah buat Syafruddin yang senang dipanggil Acong oleh kawan-kawannya  memahami bisnis kayu untuk di jual ke luar daerahnya. 

Kawasan hutan Pesisir Selatan memiliki potensi kayu yang cukup potensial pada saat itu, menggiurkan  para pelaku usaha kayu melakukan  penebangan , baik legal maupun ilegal. Kegiatannya sedemikian marak seiring pertumbuhan kayu lapis ekspor yang meningkat.

Acong yang masih kuliah  di Akademi Teknologi Industri Padang, mulai berfikir keras untuk dapat melakukan bisnis kayu.  Kayu diambil dari masyarakat harus dibayar tunai sebelum dibawa keluar, kenang Acong. Ia mulai memberanikan diri menerima pesanan kayu yang pembayarannya menggunakan cek mundur. Cek bisa dicairkan setelah kayu yang dipesan sampai di gudang pemesan. 

Acong memanfaatkan cek mundur membeli sejumlah semen  senilai rupiah yang tercantum. Semen dijual kembali ke masyarakat dengan cara lebih murah hanya untuk mendapatkan uang tunai  Selanjut ia bisa memborong kayu masyarakat  untuk di kirim ke pemesannya 

Kegiatan bisnis Acong berlangsung  dari tahun ke tahun sejak ia tercatat menjadi mahasiswa  tahun 1980 di Akademi Teknologi Industri Padang.  Wajar sejak kuliah ia menjadi andalan kawan-kawannya untuk sekedar membeli rokok dan makan. Gelar Urang Rimbo pun melekat dari para sahabatnya. Beberapa pengusaha kayu besar di kota Padang juga sangat percaya akan kemampuan Acong mencari kayu di hutan. 

Kesempatan main kayu secara besar-besaran terbuka secara tidak disengaja bertemu cukong kayu besar dari Kalimantan yang akan mengembangkan perluasan bisnisnya ke Sumatera. Ia mampu meyakinkan pengusaha tersebut bahwa di daerahnya banyak kayu dan ia paham bagaimana mendapatkannya. Kemampuan meyakinkan orang lain  meluluhkan pengusaha  tersebut untuk memodalinya. 

Acong mulai mengorganisir masyarakat dan ninik mamak di sekitaran  kawasan hutan untuk  mengajukan izin kelola kawasan hutan. Urusannya ke pemerintah daerah dan kementerian kehutanan dan lingkungan hidup , semakin melatihnya dalam  berurusan menuntaskan semua perizinan . Setelah ia mendapat izin peminjaman pemakaian lahan hutan,  ia menggandeng investor Korea yang bergerak di bidang ekspor  industri kayu.  Bisnis Acong dibidang kayu semakin terorganisir  mengelola hutan seluas 200 hektar bersama investor asal Korea. Eksploitasi kayu di kawasan hutan tersebut berlangsung beberapa tahun.
 

 

 

Beralih Ke Batu Bara

Setelah kayu mulai habis dilokasi lahan yang di kelolanya, penampakan emas hitam batu bara mulai menampakan tanda keberuntungan. Uji coba penambangan dilakukan untuk memastikan potensi kandungan batu bara di lahannya. Keberuntungannya memang belum berhenti. Potensi batu baranya mencapai 1,4 juta ton, dengan kadar lebih dari 5000 kalori. Potensi batu baranya  menggoda pengusaha batu bara dari Kalimantan untuk membiayai produksinya. Hanya hitungan yang tidak begitu lama, kepemilikan lahan investor dari Korea tersebut beralih ke pemilikannya. Acong melibatkan pengusaha Kalimantan dimaksud dalam dalam mengelola batu bara. PT Tripa Bara hingga saat ini di tangan Acong terus menggeliat mencari bentuk sebagai salah satu perusahaan batu bara di wilayah Pesisir Selatan yang mampu berkontribusi secara ekonomi  buat pembangunan daerah. Sebagian hasil tambangnya di suplai untuk kebutuhan PT Semen Indonesia alias Semen Indarung. Sebagian lagi di kirim ke pulau jawa.

Safruddin Tasyar memang bukan pengusaha yang berasal dari  turunan Tiongkok, tapi cara ia berbisnis, bisa jadi  para karibnya memanggil Acong,  Urang Rimbo yang sering menyanyikan lagu minang Tangihan Buruang di tengah lamunannya saat di rumah kos saat ia kuliah,. Red.ZAZ